Dirjen Pajak: “Adili juga Para Penyuap Pajaknya!”

www.pajak.go.id, Jumat, 20 April, 2012 – 11:07

“Jika ingin bersihkan korupsi mestinya bukan pegawai pajak saja yang diungkap, namun para penyuap (yang menyogok para pegawai pajak) itu juga harus diungkap dan dihukum. Kalau para penyuap ini tidak diadili, masalah korupsi tidak akan selesai,” ujar Dirjen Pajak, Fuad Rahmany, saat menjadi panelis pada seminar nasional Dinamika Perpajakan Nasional ‘Antara Idealisme dan Realita’ di Graha Sabha Pramana UGM, di Yogyakarta, hari Kamis, 19 April 2012.

Saat ini jumlah pegawai Direktorat Jenderal Pajak (DJP) tercatat 31.841 orang pegawai yang mayoritas masih muda di usia 30 tahun. Menurut Fuad, ada banyak dari para stafnya itu yang memiliki idealisme yang baik, mengedepankan kejujuran, dan berupaya keras untuk menjaga penerimaan pajak. Namun, idealisme tersebut berusaha dirusak oleh para penyuap tersebut melalui berbagai iming-iming. “Saya jamin, kasus Gayus dan kasus lainnya hanya bagian kecil saja. Masih banyak pegawai yang memiliki idealisme,” ungkap Fuad.

Fuad mengutarakan bahwa kalau pun ada korupsi dan kasus mafia pajak, maka si oknum pegawai pajak tidak pernah mengambil langsung uang pajak, karena pembayaran pajak melalui bank. Namun, yang terjadi adalah para oknum pegawai pajak itu bertindak sebagai makelar, broker, atau konsultan yang membantu si pengemplang pajak mengemplang pajak. Atas jasa  makelar, broker, atau konsultan liar, si oknum pegawai pajak menerima fee dari para pengemplang. “Jadi jangan ada lagi wajib pajak (WP) Badan atau WP orang pribadi membayar pajak melalui pegawai pajak, tetapi lewat bank. Jika melalui pegawai itu salah, si penyuap dan yang disuap dua-duanya bisa jadi tersangka dan harus dihukum,” tandas Fuad.

Fuad juga mengungkapkan bahwa saat ini sedikitnya ada 12 juta perusahaan dan 30 juta orang pribadi yang mengemplang pajak. Akibatnya, negara dirugikan triliunan rupiah. Menurut Fuad, 12 juta perusahaan dan 30 juta orang pribadi pengemplang pajak itu tidak lebih baik dari Gayus. Mereka dapat disebut Gayus juga karena mereka telah merampok uang negara dengan tidak bayar pajak, yang semestinya pajak itu merupakan hak negara. Pajak sebagai hak negara diatur dalam Pasal 23 A UUD 1945, yang menetapkan bahwa pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur dalam undang-undang.

Guru Besar Fakultas Ekonomi UGM, Prof. Mudrajad Kuncoro, yang juga menjadi salahsatu panelis pada seminar nasional Dinamika Perpajakan Nasional ‘Antara Idealisme dan Realita’ di UGM itu, disamping Prof. Purwo Santoso, Dirjen Pajak Fuad Rahmany dan Prof. Eddy OS Hiariej, mengungkapkan bahwa “…dari sudut pandang ekonomi politik, mafia pajak susah dibongkar. Berbagai pihak –wajib pajak nakal, politisi, dan oknum petugas pajak- berupaya mencampuri proses pemberantasan mafia pajak guna memperjuangkan kepentingan masing-masing.”

Menanggapi pendapat Mudrajad Kuncoro itu maka media massa juga perlu berhati-hati agar jangan menjadi kaki tangan para pengemplang pajak, yaitu seperti tidak mengungkap para pengusaha pengemplang pajak yang menyuap oknum pegawai pajak agar ketetapan hutang pajaknya dikecilkan. Dan bisa saja sebagian dari para pengemplang pajak itu menjadi pemilik saham dari perusahaan-perusahaan media massa itu. Para pengemplang pajak (yang menyogok/menyuap para oknum pegawai pajak) itu juga harus diungkap oleh media massa dan dihukum. “Jika ingin memberantas mafia pajak, pemberi dan penerima suap harus diproses semua,” tegas Fuad Rahmany.

Bayar Pajak berdasarkan kerelaan hati ?

Membayar pajak berdasarkan kerelaaan hati ? Siapa yang tidak ingin bisa seperti ini ? Kita tentunya ingin membayar pajak berdasarkan kerelaan hati karena masalah prinsip kejujuran karena saya yakin kita tentunya lebih menyukai kejujuran maupun prinsip ekonomi karena kerelaaan hati membayar pajak berarti secara ekonomi membayar pajak memang layak. Tetapi bisakah demikian ? Ataukah ini hanya sebuah utopia. Sebelum kita melanjutkannya mari kita lihat apa pendapat para guru-guru mengenai pajak.

Continue reading Bayar Pajak berdasarkan kerelaan hati ?

Pajak atas Cadangan Premi Unit Link

Pada tanggal 28 Desember 2011, Direktur Jenderal Pajak melalui Surat Edaran Nomor SE-97/PJ/2011 menegaskan perlakuan PPh atas pembentukan dan pemupukan dana cadangan premi bagi Wajib Pajak yang bergerak di bidang usaha asuransi jiwa yang dapat dikurangkan dari Penghasilan Bruto. Sebenarnya dalam SE-97/PJ/2011 hanyalah mengatur mengenai perlakuan mengenai pembentukan dan pemupukan dana cadangan premi bagi Wajib Pajak Asuransi Jiwa yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto dalam menghitung PPh Terutang.

SE-97/PJ/2011 ini hanya menegaskan kembali bahwa cadangan premi asuransi jiwa dalam bentuk investasi Unit Link, adalah tidak dapat dikurangkan dari penghasilan bruto dalam menghitung PPh terutang karena karena Penghasilan yang diterima oleh jenis asuransi jiwa Unit Link ini telah dikenakan PPh yang bersifat final dan/atau yang bukan merupakan objek pajak. Tetapi tampaknya masyarakat menyimpulkan bahwa dengan adanya SE-97/PJ/2011 ini adalah aturan baru dimana Direktorat Jenderal Pajak  mengenakan pajak atas cadangan premi unit link pada Perusahaan Asuransi Jiwa.

Untuk meluruskan hal tersebut, maka Direktur Jenderal Pajak melalui situs resmi www.pajak.go.id mengeluarkan penjelasan mengenai ketentuan SE-97/PJ/2011 ini. Penjelasan tersebut adalah:

  1. Dalam bisnis asuransi jiwa terkait dengan produk unit link, perusahaan asuransi jiwa akan mencatat tiga sumber penghasilannya, yaitu yang berasal dari premi uang pertanggungan, premi subdana investasi dan hasil investasi termasuk hasil investasi subdana investasi. Sebagian hasil investasi yang berasal dari subdana invetasi telah dikenakan Pajak Penghasilan (PPh) final atau merupakan penghasilan yang belum terealisasi (unrealized gain).
  2. Karena bagian hasil investasi yang berasal dari subdana investasi merupakan penghasilan yang dikenakan pajak final dan/atau bukan objek pajak, maka sesuai dengan ketentuan, penghasilan tersebut tidak menjadi bagian Penghasilan Kena Pajak dalam Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan Perusahan Asuransi yang bersangkutan.
  3. Dengan demikian, bagian biaya cadangan atas hasil investasi yang telah dikenakan final atau belum terealisasi, juga tidak dapat menjadi biaya yang dapat dikurangkan pada perhitungan Penghasilan Kena Pajak dalam Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan Perusahan Asuransi yang bersangkutan. Ketentuan mengenai hal ini juga telah diatur dalam Pasal 13 huruf a angka 1) dan 2) Peraturan Pemerintah Nomor 94 Tahun 2010 yang mengatur bahwa pengeluaran untuk mendapatkan, menagih dan memelihara penghasilan yang pengenaan pajaknya bersifat final atau bukan obyek pajak, tidak boleh dibebankan sebagai biaya.
  4. Surat Edaran Dirjen Pajak Nomor : SE-97/PJ/2011 merupakan penegasan atas ketentuan sebagaimana pada butir 3 tersebut di atas dan bukan sebagai jenis pajak baru yang dikenakan bagi unit link.

Penjelasan ini menjawab keraguan masyarakat mengenai perlakuan pajak atas cadangan premi unit link pada Perusahaan Asuransi Jiwa dan penjelasan ini juga sesuai baik dengan isi dari SE-97/PJ/2011 itu sendiri maupun perraturan perpajakan lain yang menjadi dasar terbitnya SE-97/PJ/2011 ini.

Ditjen Pajak Sidik 141 Wajib Pajak

Metrotvnews.com, Jakarta: Sebagai salah satu bentuk penegakan hukum terhadap wajib pajak yang tidak patuh dan memberikan efek jera (deterrent effect) kepada wajib pajak lainnya, Direktorat Jenderal Pajak secara konsisten melakukan tindakan penyidikan.

Dari 2007 sampai 2011, telah diterbitkan surat perintah penyidikan pajak kepada 141 wajib pajak. Pada 2011, penyidikan dilakukan terhadap 23 wajib pajak.

Kesemuanya yang dilakukan penyidikan tersebut dapat berstatus: Dalam proses penyidikan oleh penyidik pegawai negeri sipil (PPNS) Direktorat Jenderal Pajak; berkas penyidikan sudah dinyatakan lengkap oleh Kejaksaan (P21); atau wajib pajak telah membayar pajak terutang dan denda sebesar 400% sesuai Pasal 44B Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP).

Demikian disampaikan Direktur Penyuluhan Pelayanan dan Humas Dedi Rudaedi di dalam keterangan tertulis kepada pers yang diterima pada Senin (12/3). Penegakan hukum di bidang perpajakan merupakan upaya terakhir yang dilakukan Direktorat Jenderal Pajak.

Undang-undang memberikan kesempatan kepada wajib pajak yang telah melakukan kesalahan, sengaja maupun tidak sengaja, dalam melakukan kewajiban perpajakannya untuk memperbaiki, membetulkan, dan mengungkapkan ketidakbenaran dalam melaporkan surat pemberitahuan pajak (SPT).

Direktorat Jenderal Pajak akan melakukan penegakan hukum, berupa pemeriksaan dan/atau penyidikan, apabila wajib pajak tidak menggunakan kesempatan melakukan perbaikan SPT tersebut.

Penyidikan tindak pidana perpajakan bertujuan untuk menciptakan efek jera (detterent effect) dengan prinsip bahwa penegakan hukum pidana perpajakan merupakan upaya terakhir (ultimum remidium). Sasaran utamanya adalah agar wajib pajak bersedia membayar pokok pajak terutang beserta sanksi-sanksinya.

Direktorat Jenderal Pajak senantiasa melakukan peningkatan standar kompetensi bagi para penyidik dan intelijennya melalui berbagai program pelatihan, yaitu Diklat Penyidik Pegawai Negeri Sipil bekerja sama dengan Lembaga Pendidikan dan Pelatihan (Lemdiklat) Polri.

Dikutip dari www.metrotvnews.com