Apakah Pasal 31E UU PPh Benar-benar Menguntungkan ?

Pada saat mulai diundangkannya UU No 36 Tahun 2008 Tentang Pajak Penghasilan, ada satu perubahan yang sering luput dari perhatian kaum awam dan menimbulkan pertanyaan bagi kalangan praktisi perpajakan. Perubahan itu adalah Pasal 31E. Pasal 31E ini sebenarnya dimaksudkan untuk memberikan insentif pajak bagi usaha mikro, kecil dan menengah.

Pasal 31 E ayat (1) UU PPh menyatakan bahwa Wajib Pajak badan dalam negeri dengan peredaran bruto sampai dengan Rp50.000.000.000,00 (lima puluh miliar rupiah) mendapat fasilitas berupa pengurangan tarif sebesar 50% (lima puluh persen) dari tarif normal 28% (tahun 2009) dan 25% (tahun 2010 dst) yang dikenakan atas Penghasilan Kena Pajak dari bagian peredaran bruto sampai dengan Rp4.800.000.000,00 (empat miliar delapan ratus juta rupiah).

Sayangnya ketentuan ini sempat tidak diakomodir dengan ketentuan pelaksanaan yang jelas sehingga banyak asumsi berbeda-beda seperti bahwa peredaran bruto berasal dari penghasilan utama saja (main business income), fasilitas ini hanya dikhususkan untuk industri UMKM, industri perbankan tidak dapat menikmati fasilitas tersebut, apakah perusahaan yang masuk ke bursa efek juga dapat menikmati fasilitas (perseroan terbuka) dan ada juga yang berpendapat bahwa fasilitas ini adalah sebuah pilihan yang sifatnya tidak wajib.

Tetapi ketidakjelasan ketentuan ini segera dijernihkan dengan diterbitkannya Surat Edaran Dirjen Pajak No. 66/PJ/2010 per tanggal 24 Mei 2010 yang menjelaskan hal-hal sebagai berikut :

  1. Fasilitas pengurangan tarif sesuai dengan Pasal 31E ayat (1) UU PPh dilaksanakan dengan cara self assessment pada saat penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak Badan. Dengan demikian, Wajib Pajak tidak perlu menyampaikan permohonan untuk dapat memperoleh fasilitas tersebut.
  2. Batasan peredaran bruto sampai dengan Rp50.000.000.000,00 adalah sebagai batasan maksimal peredaran bruto yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak badan dalam negeri untuk dapat memperoleh fasilitas pengurangan tarif sesuai dengan Pasal 31E ayat (1) UU PPh.
  3. Peredaran bruto sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 31E ayat (1) UU PPh adalah penghasilan yang diterima atau diperoleh dari kegiatan usaha sebelum dikurangi biaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia, meliputi :
    • Penghasilan yang dikenai Pajak Penghasilan bersifat final;
    • Penghasilan yang dikenai Pajak Penghasilan tidak bersifat final; dan
    • Penghasilan yang dikecualikan dari objek pajak.
  4. Dalam Surat Edaran Dirjen Pajak tersebut ditegaskan juga bahwa fasilitas Pasal 31E ayat (1) tersebut bukan merupakan pilihan. Sehingga dapat dianalogikan bahwa merupakan kewajiban bagi WPDN yang penghasilan brutonya berada di bawah atau sampai dengan lima puluh miliar rupiah.

Surat Edaran Dirjen Pajak No. 66/PJ/2010 ini menjelaskan banyak keraguan dan pertanyaan para praktisi perpajakan dan kaum awam tentunya. Tetapi ada hal tersembunyi yang bahkan seorang praktisi perpajakan yang sudah berpengalamanpun tidak atau kurang menyadari ekses dari Pasal 31E UU PPh ini.

Secara kasat mata fasilitas yang diberikan oleh pemerintah akan menguntungkan Wajib Pajak Badan Dalam Negeri. Hal tersebut setidaknya akan terlihat ada tax saving (penghematan pajak) sebesar 14 % dari tarif normal 28% untuk tahun pajak 2009 dan sebesar 12,5% dari tarif normal 25% untuk tahun pajak 2010 dan seterusnya.

Tetapi penghematan pajak ini menurut opini saya hanya bermanfaat bagi Wajib Pajak Badan yang memiliki kredit pajak PPh Pasal 23 dan Pasal 22 yang kecil / minim. Kenapa ?

Karena bagi perusahaan yang penghasilannya dipotong PPh Pasal 23 dan dipungut PPh Pasal 22 dan memiliki nilai kredit pajak PPh Pasal 23 dan/atau PPh Pasal 22 besar, fasilitas pasal 31 E UU PPh ini dapat mengakibatkan terjadinya kelebihan bayar PPh Badan sehingga pada tahun yang bersangkutan akan mendapatkan prioritas pemeriksaan pajak oleh Kantor Pajak.

Hal ini diakibatkan karena pemotongan PPh Pasal 23 dihitung dari penghasilan bruto atau peredaran usaha sedangkan PPh terutang dihitung dari Penghasilan Kena Pajak ( PKP) yang merupakan komponen terakhir setelah proses koreksi fiskal dan kompensasi kerugian. Begitu pula dengan kredit pajak PPh Pasal 22. Kita coba lihat ilustrasi berikut ini :

Sehingga dapat dibayangkan bahwa bagi perusahaan yang PPh terhutangnya tidak lebih besar dari kredit pajak PPh Pasal 23 dan Pasal 22 dapat mengakibatkan terjadinya lebih bayar di SPT Tahunan. Konsekuensinya akan terjadi pemeriksaan pajak yang dapat menimbulkan terjadinya potensi temuan oleh pemeriksa pajak dari jenis pajak yang lain.

Jadi melihat situasi Pasal 31E UU PPh, cara untuk menghindari pemeriksaan adalah melakukan perencanaan pajak yang cermat dengan perhitungan akuntansi akurat akan menghindarkan kita dari situasi yang tidak mengenakkan ini.

Kalau begitu ayo kita hitung pajaknya sekarang !

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *