Korupsi Pajak, Mengapa dan Bagaimana

Bila kita membaca artikel Kemana Larinya Uang Pajak Kita ? (Bagian 1) dan Kemana Larinya Uang Pajak Kita ? (Bagian 2), saya yakin banyak pembaca meragukannya dan kemudian membantah dengan argumen : kalau begitu bagaimana korupsi pajak bisa terjadi ?Fakta bahwa korupsi pajak memang terjadi tidak bisa dipungkiri. Fakta paling aktual dan paling terbaru yang saya dapatkan adalah berdasarkan publikasi Lembaga Transparansi International Indonesia tahun 2008 mencatat bahwa Kantor Pelayanan Pajak berada di urutan ke-13 dari 15 institusi di Indonesia yang paling banyak menerima suap. Fakta ini sebenarnya mengejutkan saya karena pada tahun 2005, Kantor Pelayanan Pajak masih berada di urutan ke-2 institusi di Indonesia yang paling banyak menerima suap di bawah Bea Cukai.

Dan berdasarkan survey yang sama ditemukan bahwa pembayaran pajak tahunan adalah variable pemicu suap nomor 6 dengan pemicu nomor 1 adalah mempercepat proses birokrasi. Hasil survey ini menjelaskan mengapa persepsi Kantor Pelayanan Pajak sebagai institusi yang banyak menerima suap menurun karena sejak Reformasi Perpajakan tahun 2007, ada peningkatan dalam proses birokrasi di Kantor Pelayanan Pajak yang membuat variable mempercepat proses birokrasi bukanlah pemicu suap di Kantor Pelayan Pajak saat ini.

Lalu bagaimana sebenarnya Korupsi Pajak terjadi ? Tahun 2001, Indonesia Corruption Watch melakukan studi kualitatif terhadap pola-pola korupsi di sektor pajak. Menggunakan terminologi korupsi Syed Husein Alatas (lihat SH Alatas, “Korupsi: Sebab, Sifat dan Fungsi”, 1987), ada tiga pola korupsi pajak.

Pola pertama, transaktif-nepotis di personalia, terutama dalam penempatan pegawai pajak. Disebut korupsi transaktif karena menguntungkan pegawai pajak dan personalia Ada transaksi dalam korupsi. Personalia mendapatkan uang suap, sementara pegawai mengincar kantor pajak yang “basah” atau menghindari penempatan di daerah terpencil.

Pola ini juga menjadi mekanisme untuk mempertahankan budaya korupsi di perpajakan. Pegawai baru di Dirjen Pajak akan berhadapan dengan tradisi seperti ini. Mereka akan dihadapkan pada dua pilihan: ikut dalam praktek korupsi atau tetap lurus. Menjadi jujur tidak masalah, sepanjang mereka tidak bicara. Kalau sampai ada yang membongkar praktek korupsi, pegawai yang jujur bisa dimutasi di daerah terpencil.

Pola kedua, autogenik-ekstortif dalam administrasi pajak. Autogenik merujuk pada korupsi yang dilakukan oleh petugas pajak mengikuti kewenangan yang ada padanya. Ekstortif merujuk pada praktek pemerasan. Pola ini menggambarkan bagaimana petugas pajak meminta imbalan jasa untuk pengurusan administrasi perpajakan. Sekedar contoh, untuk mengurus NPWP membutuhkan waktu tiga minggu. Dengan memberikan uang pelicin kepada petugas pajak, proses tersebut bisa dipersingkat.

Pola ketiga, transaktif-autogenik dalam bentuk negosiasi pajak. Pola ini menunjukkan bagaimana praktek korupsi di pajak berjalan saling menguntungkan. Baik bagi wajib pajak maupun petugas pajak. Wajib pajak bisa mendapatkan pengurangan dari kewajiban yang seharusnya. Sementara petugas pajak mendapatkan komisi atas pengurangan kewajiban tersebut.

Dalam beberapa kasus, kadang kala negosiasi pajak dilakukan secara ekstortif. Dalam hal ini, wajib pajak “diperas” oleh petugas pajak dengan memberikan tagihan yang amat besar. Lalu, tagihan itu bisa diturunkan sesuai kesepakatan dengan imbalan uang kepada petugas.

Praktek-praktek di atas masih terjadi hingga saat ini walaupun dengan metodologi lebih  halus, lebih hati-hati dan intensitasnya lebih rendah. Pola korupsi transaktif yang saling menguntungkan di sektor pajak sulit untuk dibongkar. Kecuali pembuktian terbalik diterapkan sepenuhnya. Sayangnya, perangkat hukum kita belum mengadopsi sistem pembuktian terbalik. UU No.31/1999 juncto UU No.20/2001 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi hanya menerapkan pembuktian terbalik secara terbatas. Pembuktian terbalik menjadi hak terdakwa dalam pengadilan untuk membuktikan dirinya tidak bersalah. Beban pembuktian masih ada pada Kejaksaan sebagai penuntut umum. Karena itu, usulan menerapkan pembuktian terbalik sulit dilakukan karena harus mengubah UU anti-korupsi terlebih dahulu.

Menurut pendapat saya, Dirjen Pajak bisa membuat terobosan dengan memberikan perlindungan kepada pelapor yang bisa memberikan informasi petugas pajak yang nakal. Atas informasinya, wajib pajak tidak akan mendapat sanksi, baik pidana maupun denda. Dan saya yakin cukup banyak wajib pajak yang bersedia membayar pajak kepada negara dang menginginkan pajak yang dibayarkan bisa memberikan sumbangsih bagi negara. Sehingga dengan perlindungan bagi saksi-pelapor, Dirjen Pajak bisa menindak para petugas pajak yang korup.

Bagaimana menurut Anda ? 🙂

2 thoughts on “Korupsi Pajak, Mengapa dan Bagaimana”

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *