Penetapan BUMN sebagai Pemungut PPN

Disadari atau tidak, Pajak Pertambahan Nilai (PPN) adalah salah satu jenis pajak yang termasuk dalam kriteria withholding tax. PPN sebenarnya adalah Pajak yang dikenakan pada aktivitas konsumsi. Sesuai dengan tujuan pengenaannya, maka PPN dipungut dari Pembeli Barang/Jasa Kena Pajak oleh Penjual Barang/Jasa Kena Pajak tersebut.

Tetapi ada kondisi khusus (lex specialist) bahwa justru Pembeli Barang/Jasa Kena Pajak yang memungut PPN. Pada kondisi khusus ini, Pembeli Barang/Jasa Kena Pajak ini disebut sebagai Pemungut PPN atau sering juga disebut sebagai WAPU (Wajib Pungut). Kondisi khusus ini merupakan kebalikan dari keumuman sistem pemungutan PPN.

Pemungut PPN ini sebenarnya terdiri dari 3 kategori yaitu :

  1. Bendahara Pemerintah (Ditetapkan sebagai Pemungut melalui Keputusan Menteri Keuangan No. 563/KMK.03/2003);
  2. KKS Migas, dan Kontraktor atau Pemegang Kuasa / Pemegang Ijin Usaha Panas Bumi (Ditetapkan sebagai Pemungut melalui Peraturan Menteri Keuangan No. 73/PMK.03/2010);
  3. Badan Usaha Milik Negara.

Khusus untuk BUMN, dahulu pernah ditetapkan sebagai pemungut bersamaan dengan KKS Migas dan panas bumi melalui Keputusan Menteri Keuangan No. 549/KMK.03/2000 tentang Tata Cara Pemungutan, Penyetoran, Dan Pelaporan Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah Oleh Badan-Badan Tertentu Sebagai Pemungut Pajak Pertambahan Nilai. Badan-Badan tertentu ini disebutkan pada Pasal 1 Keputusan Menteri Keuangan No. 549/KMK.03/2000 ini adalah PERTAMINA, Kontraktor Kontrak Bagi Hasil dan Kontrak Karya di bidang minyak, gas bumi, panas bumi, dan Pertambangan Umum lainnya, Badan Usaha Milik Negara, Badan Usaha Milik Daerah termasuk Bank Pemerintah dan Bank Daerah, dan Bank Indonesia.

Tetapi dengan dikeluarkannya Keputusan Menteri Keuangan No. 563/KMK.03/2003 maka status BUMN sebagai Pemungut PPN dicabut. Tetapi pada tahun 2012 ini melalui Peraturan Menteri Keuangan No. 85/ PMK.03/2012 yang diperbaiki dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 136/PMK.03/2012, BUMN  kembali ditetapkan sebagai Pemungut PPN.

Ada permasalahan tersembunyi dibalik penetapan pemungut ini yaitu bagaimana bila Pemungut PPN lalai atau sengaja tidak menyetorkan/melaporkan PPN yang sudah dipungut. Mungkin timbul pertanyaan kok bisa Pemungut PPN lalai atau sengaja tidak menyetorkan/melaporkan PPN yang sudah dipungut padahal Pemungut PPN tersebut adalah BUMN ? Faktanya justru sebagai Pemungut PPN sebelum Peraturan Menteri Keuangan Nomor 136/PMK.03/2012 memiliki kesempatan untuk ‘lalai’.

Hal ini karena sistem pemungutan PPN oleh Pemungut PPN itu sendiri. Jadi semisal PT A menjual ke BUMN B, Barang Kena Pajak senilai Rp.100jt dengan PPN yang harus dipungut sebesar Rp.10jt. Dengan demikian PT A sebagai Penjual menerbitkan Faktur Pajak sebesar Rp.10jt kepada BUMN B. Pada kondisi umumnya (bila BUMN B bukan Pemungut PPN), maka BUMN B membayar kepada PT A sebesar Rp.110jt dan PT A berkewajiban menyetor PPN ke Kas Negara sebesar Rp.10jt dan melaporkan transaksi tersebut melalui SPT Masa PPN. Sebagian besar Perusahaan yang memang bertujuan bisnis dan bukan penipu dengan menerbitkan Faktur Pajak Fiktif pastilah melakukan kewajiban setor dan lapor PPN ini dengan taat terutama mengingat bahwa BUMN B pastilah melaporkan Faktur Pajak tersebut sebagai kredit pajak masukan sehingga resiko pelanggaran seperti ini sangatlah besar.

Sebaliknya karena BUMN B adalah Pemungut PPN, maka BUMN B akan membayar ke PT A sebesar Rp.100jt dan menyetor ke Kas Negara PPN sebesar Rp.10jt dan berkewajiban menyerahkan SSP (Surat Setoran Pajak)rangkap ke-1 dan 2  atas nama PT A senilai Rp.10jt kepada PT A. Dan PT A berkewajiban melaporkan SSP rangkap ke-1 tersebut ke KPP tempat PT A berdomisili.

Permasalahannya adalah :

  1. Pembuktian bagi rekanan (PT A) tergantung dari Pemungut yang bersangkutan (BUMN B) karena SSP yang dapat dijadikan bukti bayar oleh rekanan (PT A) hanya diperoleh bila BUMN B menunaikan kewajibannya dengan menyetorkan PPN yang dipungut.
  2. Aparatur Pajak (pegawai Direktorat Jenderal Pajak) lebih memberi perhatian kepada perusahaan-perusahaan non BUMN untuk diperiksa.
  3. Ada ketentuan tanggung renteng pada UU No 42 Tahun 2009 Pasal 16F yang menetapkan bahwa tanggung jawab pemungutan PPN bersifat tanggung renteng.

Ketentuan tanggung renteng ini menimbulkan sejumlah sengketa perpajakan yang menyangkut transaksi dengan Pemungut PPN. Hampir semua pegawai Direktorat Jenderal Pajak tidak memperdulikan bila si rekanan (PT A) tidak bisa menunjukkan bukti SSP penyetoran PPN oleh pemungut dan menggunakan dalih tanggung renteng sebagai dasarnya.

Peraturan Menteri Keuangan Nomor 136/PMK.03/2012 pada dasarnya mempermudah dan menyederhanakan kewajiban si rekanan dengan mengurangi jumlah rangkap SSP yang harus disiapkan rekanan dari 5 menjadi 4 dan mengurangi jumlah rangkap Faktur Pajak dari 3 menjadi 2 yang sebelumnya ditetapkan dalam Peraturan Menteri Keuangan No. 85/ PMK.03/2012. Selain itu Peraturan Menteri Keuangan Nomor 136/PMK.03/2012 menetapkan aturan yang lebih ketat bagi BUMN yang bersangkutan untuk melaporkan Daftar Nominatif Faktur Pajak Dan Surat Setoran Pajak dalam SPT Masa PPNnya.

Kita harapkan saja Direktorat Jenderal Pajak bersikap sama tegasnya pada BUMN yang Pemungut PPN seperti ditegaskan dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 136/PMK.03/2012 Pasal 8 yang menyatakan bahwa “Dalam hal Badan Usaha Milik Negara yang ditunjuk untuk memungut, menyetor, dan melaporkan Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah tidak memenuhi ketentuan, Badan Usaha Milik Negara tersebut dikenai sanksi sesuai peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.”

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *