Perbedaan Aturan PPAP antara BI & DJP

Dalam dunia perbankan dikenal istilah PPAP. PPAP adalah singkatan dari Penyisihan Penghapusan Aktiva Produktif. Secara definitif, PPAP berarti provision for loan losses yaitu (disingkat PPAP), merupakan cadangan yang dibentuk dengan cara membebani perhitungan laba rugi tahun berjalan, untuk menampung kerugian yang mungkin timbul sebagai akibat dan tidak diterimanya kembali sebagian atau seluruh aktiva produktif, penyisihan penghapusan aktiva produktif yang dapat diperhitungkan sebagai komponen modal pelengkap adalah maksimum persentase tertentu.

Sesuai Peraturan Bank Indonesia Nomor 7/2/PBI/2005 yang sudah dirubah tiga kali dengan perubahan terakhir adalah Peraturan Bank Indonesia Nomor 11/2/PBI/2009 Pasal 44 mewajibkan semua Bank Umum untuk melakukan Penyisihan Penghapusan Aktiva. Pembentukan PPA terhadap Aktiva Non Produktif dimaksudkan untuk mendorong Bank melakukan upaya penyelesaian bila terjadi wanprestasi dan untuk antisipasi terhadap potensi kerugian.

Sedangkan dalam perpajakan tidak ditemukan istilah PPAP maupun Penyisihan Penghapusan Aktiva. Pada Peraturan Menteri Keuangan Nomor 81/PMK.03/2009 disebutkan istilah “Pemupukan Dana Cadangan”. Istilah ini diambil dari UU No 36 Tahun 2008 Tentang Pajak Penghasilan Pasal 9 ayat 1 yang berbunyi sbb :

“Untuk menentukan besarnya Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak dalam negeri dan bentuk usaha tetap tidak boleh dikurangkan:

a. ….

……

c. pembentukan atau pemupukan dana cadangan, kecuali:
1. cadangan piutang tak tertagih untuk usaha bank dan badan usaha lain yang menyalurkan kredit, sewa guna usaha dengan
hak opsi, perusahaan pembiayaan konsumen, dan perusahaan anjak piutang;”

Dari pengertian UU No 36 Tahun 2008 ini dapat disimpulkan bahwa pengertian pemupukan dana cadangan serupa dengan isitilah Penyisihan Penghapusan Aktiva Produktif atau PPA (Penyisihan Penghapusan Aktiva).

Sesuai dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 81/PMK.03/2009 Pasal 1 huruf a angka 1 menjelaskan bahwa pemupukan dana cadangan diperbolehkan untuk usaha bank dan badan usaha lain yang menyalurkan kredit, sewa guna usaha dengan hak opsi, perusahaan pembiayaan konsumen, dan perusahaan anjak piutang, yang meliputi :

  1. bank umum yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional;
  2. bank umum yang melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah;
  3. bank perkreditan rakyat yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional;
  4. bank perkreditan rakyat yang melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah;

Peraturan Menteri Keuangan Nomor 81/PMK.03/2009 jelas dibuat sinergis dengan peraturan Perbankan yang dibuat oleh Bank Indonesia sebagai pemegang otoritas moneter di Indonesia. Salah satunya adalah Peraturan Bank Indonesia Nomor : 7/2/PBI/2005 Tentang Penilaian Kualitas Aktiva Bank Umum yang sudah dirubah untuk ketiga kalinya dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor : 11/2/PBI/2009, Hal itu dapat dilihat dari sisi besaran prosentase pemupukan dana cadangan yang diharuskan oleh Bank Indonesia dan yang diperbolehkan secara ketentuan Perpajakan, maupun dari sisi kriteria kualitas yang sama (Lancar / Dalam Perhatian Khusus / Kurang Lancar / Diragukan / Macet).

Tetapi ada permasalahan besar dalam aturan PPAP ini dari sisi Bank Indonesia dan dari sisi Direktur Jenderal Pajak yaitu mengenai hapus buku dan Hapus Tagih. Menurut  Peraturan Bank Indonesia Nomor : 7/2/PBI/2005 Tentang Penilaian Kualitas Aktiva Bank Umum yang sudah dirubah untuk ketiga kalinya dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor : 11/2/PBI/2009 Pasal 71 menyatakan bahwa dalam proses Hapus Buku dan Hapus Tagih, kewajiban Bank Umum adalah sbb :

(1) Hapus buku dan atau hapus tagih sebagaimana dimaksud dalam Pasal 70 hanya dapat dilakukan setelah Bank melakukan berbagai upaya untuk memperoleh kembali Aktiva Produktif yang diberikan.
(2) Bank wajib mendokumentasikan upaya yang dilakukan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) serta dasar pertimbangan pelaksanaan hapus buku dan atau hapus tagih.
(3) Bank wajib mengadministrasikan data dan informasi mengenai Aktiva Produktif yang telah dihapus buku dan atau dihapus tagih.

Sedangkan pada Penjelasan Pasal 71 Peraturan Bank Indonesia Nomor : 7/2/PBI/2005 Tentang Penilaian Kualitas Aktiva Bank Umum yang sudah dirubah untuk ketiga kalinya dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor : 11/2/PBI/2009 mennyatakan bahwa upaya yang dapat dilakukan antara lain dalam bentuk penagihan kepada debitur, Restrukturisasi Kredit, meminta pembayaran dari pihak yang memberikan  garansi atas Aktiva Produktif dimaksud, dan penyelesaian Kredit melalui pengambilalihan agunan.

Sebaliknya pada UU No 36 Tahun 2008 Tentang Pajak Penghasilan pada Pasal 6 menyatakan bahwa biaya piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih boleh dikurangkan dari penghasilan bruto bila memenuhi syarat sbb :

  1. telah dibebankan sebagai biaya dalam laporan laba rugi komersial;
  2. Wajib Pajak harus menyerahkan daftar piutang yang tidak dapat ditagih kepada Direktorat Jenderal Pajak; dan
  3. telah diserahkan perkara penagihannya kepada Pengadilan Negeri atau instansi pemerintah yang menangani piutang negara; atau adanya perjanjian tertulis mengenai penghapusan piutang/pembebasan utang antara kreditur dan debitur yang bersangkutan; atau telah dipublikasikan dalam penerbitan umum atau khusus; atau adanya pengakuan dari debitur bahwa utangnya telah dihapuskan untuk jumlah utang tertentu;
  4. syarat sebagaimana dimaksud pada angka 3 tidak berlaku untuk penghapusan piutang tak tertagih debitur kecil sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf k

Apakah ini berarti UU No 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan kontradiksi dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor : 7/2/PBI/2005 Tentang Penilaian Kualitas Aktiva Bank Umum yang sudah dirubah untuk ketiga kalinya dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor : 11/2/PBI/2009 ? Terutama karena baik UU No 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan maupun Peraturan Bank Indonesia Nomor : 7/2/PBI/2005 Tentang Penilaian Kualitas Aktiva Bank Umum yang sudah dirubah untuk ketiga kalinya dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor : 11/2/PBI/2009 memiliki sanksi masing-masing untuk Bank yang melakukan pelanggaran ?

Menurut opini saya, bila sebuah Bank Umum sudah memenuhi ketentuan pada Pasal 71 Peraturan Bank Indonesia Nomor : 7/2/PBI/2005 Tentang Penilaian Kualitas Aktiva Bank Umum yang sudah dirubah untuk ketiga kalinya dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor : 11/2/PBI/2009 maka seharusnya kriteria piutang nyata-nyata tidak dapat ditagih yang boleh dikurangkan dari penghasilan bruto sesuai Pasal 6 UU No 36 Tahun 2008 Tentang Pajak Penghasilan pastilah terpenuhi. Tetapi bisa saja tidak terpenuhi karena kriteria penetapan yang bisa saja berbeda.

12 thoughts on “Perbedaan Aturan PPAP antara BI & DJP”

  1. Mau bertanya, PPAP itu sendiri apa ada pengaruhnya dengan modal ya pak? maksud saya tingkat kesehatan bank (CAR) itu kan diukur dengan perbandingan modal dan ATMR. sedangkan modal itu terdiri dr m.inti dan pelengkap yg didalamnya termasuk PPAP. pertanyaan saya, ada gak pengaruh detailnya PPAP itu dg CAR?

    thx b4 sorry kalo tidak nyambung dg topik pajak

  2. kalau Menurut Bapak, apakah Biaya PPAP tersebut dapat disusutkan seperti halnya aktiva tetap lainnya, dan apakah perlakuan tersebut telah sesuai dengan ketentuan perpajakan?

    terima kasih

    1. PPAP memang bisa dibiayakan tetapi bukan disusutkan. Mekanismenya seperti pencadangan piutang tak tertagih. Tetapi sesuai dengan ketentuan BI mengenai PPAP bagi Bank Umum.

  3. menurut bapak, adakan pengaruh profitabilitas dengan PPAP ? atau apakah ada yg lebih berpengaruh terhadap PPAP ? (minta bantuannya pak sebagai referensi TA saya) terimakasih

    1. Jelas donk rekan linus, makin jelek kualitas aktiva tetap, makin besar Biaya Penyisihan Aktiva Produktif, yang berarti makin rendah tingkat profitabilitasnya.

    1. Dear Rekan Risna,

      Melalui artikel “Perbedaan Aturan PPAP antara BI & DJP”, saya bermaksud mengupas sisi perpajakan dari PPAP. Pengaruh CAR, LDR, EBTP itu lebih mengarah kepada analisa Laporan Keuangan Sektor Perbankan khususnya. Coba rekan Risna google, banyak artikel yang membahas mengenai hal tersebut.

      Salam

  4. kalau untuk PPANP (dalam hal ini AYDA), pembentukan biaya PPANP nya dapat diakui sebagai biaya atau harus dikoreksi positif (non dedductible expense) menurut fiskal?

    1. PPANP = Penyisihan Penghapusan Aktiva Non Produktif ? Bila benar berarti menurut UU No 36 Tahun 2008 Tentang Pajak Penghasilan Pasal 9 ayat (1) dan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 81/PMK.03/2009 Pasal 1 huruf a angka 1 menyatakan Biaya PPANP diperbolehkan bagi usaha bank.

      Salam

Leave a Reply to admin Cancel reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *