PPN KMS Yang Berpotensi Menjadi Sengketa Pajak

Pada tanggal 22 Oktober 2012 yang lalu, Menteri Keuangan mengeluaran Peraturan Menteri Keuangan Nomor 163/PMK.03/2012 tentang Batasan dan Tata Cara Pengenaan Pajak Pertambahan Nilai Atas Kegiatan Membangun Sendiri. PMK ini merubah Dasar Pengenaan Pajak untuk penghitungan PPN KMS (Pajak Pertambahan Nilai Atas Kegiatan Membangun Sendiri) dan luasan minimal yang dikenai PPN KMS.

Dasar Pengenaan Pajak untuk menghitung PPN KMS ditetapkan sebesar 20% dari jumlah biaya yang dikeluarkan dan/atau yang dibayarkan untuk membangun bangunan, tidak termasuk harga perolehan tanah sedangkan luasan minimal yang dikenai PPN KMS berubah menjadi 200 meter persegi bila dibandingkan dengan PMK pendahulunya nomor 39/PMK.03/2010 yang menetapkan DPP sebesar 40% dan luasan minimal 300 meter persegi.

Perubahan ini tidaklah mengherankan karena sudah biasa bila tarif, batasan dan DPP dari pengenaan pajak berubah mengikuti keadaan dan target penerimaan pajak. Tetapi yang istimewa bahwa  PMK Nomor 163/PMK.03/2012 pada Pasal 6 menyatakan bahwa Direktur Jenderal Pajak bisa menetapkan secara jabatan jumlah biaya yang dikeluarkan dan/atau yang dibayarkan untuk membangun bangunan bila orang pribadi atau badan yang melakukan kegiatan membangun sendiri tidak atau kurang menyetorkan Pajak Pertambahan Nilai terutang dan setelah proses verifikasi, orang pribadi atau badan yang dimaksud dinilai :

  1. tidak memberikan data atau bukti pendukung biaya yang dikeluarkan dan/atau yang dibayarkan untuk membangun bangunan; atau
  2. memberikan data atau bukti pendukung biaya yang dikeluarkan dan/atau yang dibayarkan untuk membangun bangunan, namun tidak benar atau tidak lengkap,

Kemudian sesuai dengan PMK Nomor 163/PMK.03/2012 Pasal 11 yang menyatakan bahwa tata cara penetapan secara jabatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2), diatur dengan Peraturan Direktur Jenderal Pajak, maka kemudian terbit PER – 23/PJ/2012 tentang Tata Cara Penetapan Secara Jabatan Atas Jumlah Biaya Yang Dikeluarkan Dan/Atau Yang Dibayarkan Untuk Membangun Bangunan Dalam Rangka Kegiatan Membangun Sendiri.

Jadi PER – 23/PJ/2012 jelas bukan petunjuk pelaksanaan/petunjuk teknis pelaksanaan pemungutan PPN KMS tetapi merupakan petunjuk pelaksanaan penetapan secara jabatan atas jumlah biaya yang dikeluarkan dan/atau dibayarkan dalam kerangka PPN KMS. Dengan PER – 23/PJ/2012 ini, petugas Dirjen Pajak bisa menetapkan SKP atas PPN KMS bila tidak setuju dengan pernyataan dari Wajib Pajak.

Dan PER – 23/PJ/2012 menjelaskan bahwa jumlah biaya yang dikeluarkan dan/atau yang dibayarkan untuk membangun bangunan dapat ditetapkan secara jabatan berdasarkan nilai terendah dari data Harga Satuan Bangunan Gedung Negara (HSBGN) masing-masing daerah sesuai Keputusan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 45/PRT/M/2007 tentang Pedoman Teknis Pembangunan Bangunan Gedung Negara. Perhatikan bahwa penetapan jabatan mengambil nilai terendah dari data Harga Satuan Bangunan Gedung Negara (HSBGN).

Padahal istilah Harga Satuan Bangunan yang dimaksud dalam Keputusan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 45/PRT/M/2007 bisa dilihat pada bagian Lampiran Bab IV yang menyatakan bahwa Standar Harga Satuan Tertinggi merupakan biaya per-m2 pelaksanaan konstruksi maksimum untuk pembangunan bangunan gedung negara, khususnya untuk pekerjaan standar bangunan gedung negara, yang meliputi pekerjaan struktur, arsitektur dan finishing, serta utilitas bangunan gedung negara.

Bagaimana mungkin menetapkan berdasarkan nilai terendah dari Standar Harga Satuan Tertinggi ? Bagaimana bila PER – 23/PJ/2012 diikuti dengan gelombang penetapan secara jabatan PPN KMS secara sewenang-wenang ? Hal ini dimungkinkan karena menurut PMK Nomor 163/PMK.03/201, penetapan secara jabatan jumlah biaya yang dikeluarkan dan/atau yang dibayarkan untuk membangun bangunan dalam rangka KMS hanya melalui proses verifikasi.

Mudah-mudahan saya salah dan pihak Direktorat Jenderal Pajak tidak mengambil langkah yang tidak bijaksana.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *