Apakah Pajak atas Penulis Memang Paling Besar?

Akhir-akhir ini berita status seorang penulis kondang, Tere Liye yang menyoroti ketidakadilan Pemerintah dalam hal mengenakan pajak atas pendapatan yang diperoleh seorang penulis dari hasil penjualan bukunya. Tanggapan terbaik menurut saya adalah tanggapan dari Bp. Yustinus Prastowo, seorang aktivis di bidang perpajakan dan Executive Director at Center for Indonesia Taxation Analysis.

Bahkan pernyataan Tere Liye untuk menghentikan penerbitan buku-bukunya melalui Buku Republika dan Gramedia Pustaka Utama sudah mendapatkan tanggapan serius dari Direktorat Jenderal Pajak langsung melalui Direktur Pelayanan dan Penyuluhan (P2) Humas Ditjen Pajak, Bapak Hestu Yoga Saksama yang prinsipnya meluruskan bahwa atas penghasilan penulis dari royalti dapat menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Neto (NPPN) yang besarnya adalah 50 persen dari royalti yang diterima dari penerbit sesuai dengan Peraturan Dirjen Pajak Nomor PER-17/PJ/2015 untuk Klasifikasi Lapangan Usaha Nomor 90002 (Pekerja Seni).

Saya tidak akan membahas mengenai apa yang sudah dibahas Bp. Yustinus Prastowo dan Bp. Hestu Yoga Saksama tetapi saya akan lebih menitikberatkan pada pernyataan Tere Liye bahwa di antara dokter, akuntan, arsitek, pengusaha, pengacara, karyawan swasta, PNS, artis terkenal, motivator, dan Penulis Buku maka Penulis Bukulah yang dikenakan Pajak Penghasilan paling besar?

Pendekatan perhitungan Tere Liye sebenarnya sangat mirip dengan pendekatan petugas pajak pada umumnya yang melakukan komparasi tidak apple to apple… Singkatnya dalam melakukan perbandingan, maka obyek yang dibandingkan haruslah setara. Dalam hal ini pengenaan Pajak Penghasilan atas penghasilan bruto atau atas penghasilan netto menyebabkan tidaklah semudah apa yang diutarakan oleh Tere Liye.

Yang paling nyata adalah Pengusaha. Profesi ini paling flexible dan bisa dikenai tarif pajak yang manapun.

Bila penghasilan bruto (omzet) usaha (pribadi) di bawah 4.8M setahun maka dikenakan tarif 1% UMKM. Tetapi bagaimana bila pada sektor tertentu yang net profit margin usaha sangat tipis seperti toko pengecer semen atau travel agent. Bila net profit margin usaha di kisaran 2% maka praktis 50% dari keuntungan harus setorkan ke negara untuk memenuhi kewajiban pajak.

Bila penghasilan bruto (omzet) usaha (pribadi) di atas 4.8M setahun, maka harus melakukan pembukuan tetapi pajak penghasilan dihitung dari net profit margin dan dikenari tarif progresif (5% sampai dengan 50jt, 15% sampai dengan 250jt, 25% sampai dengan 500jt dan 30% untuk selebihnya). Jangan lupa bahwa atas pengusaha seperti ini dibebani juga kewajiban memungut PPN.

Bila pengusaha tersebut menggunakan badan (seperti CV atau PT) sebagai kendaraan usahanya, maka bila dibawah peredaran usaha di bawah 4.8M maka juga menggunakan skema tarif 1% UMKM atau bila di atas 4.8M setahun maka membayar pajak dari net profit margin (dihitung dengan pembukuan) dengan tarif tunggal 25%. Tetapi itu hanya kewajiban atas badan usahanya. Untuk menarik keuntungan dari badan usahanya, pengusaha bisa dikenakan tarif pajak yang digunakan oleh karyawan bila penghasilan pengusaha tersebut dari gaji, atau tarif pajak atas dividen untuk menarik keuntungan dari badan usahanya.

Kompleks? Rumit? Memang  peraturan perpajakan sangat rumit dan kompleks karena pada dasarnya peraturan perpajakan berusaha bersikap seadil mungkin bagi seluruh wajib pajaknya. Tetapi sayangnya keadilan bagi manusia sangat relatif. Misalnya Tere Liye dan saya mendapat perlakuan yang sama belum tentu terasa adil bagi Tere Liye ataupun saya. Hanya keadilan Ilahi sajalah yang bersifat mutlak.

Karena itu diantara dokter, akuntan, arsitek, pengusaha, pengacara, karyawan swasta, PNS, artis terkenal, motivator, dan Penulis Buku, siapakah yang dikenai Pajak Penghasilan paling besar? Menurut saya secara umum, karyawan swasta dan PNS-lah yang membayar pajak lebih besar. Mengapa?

Misalnya karyawan swasta dan PNS memperoleh gaji Rp. 1M berapa PPhnya yang dibayar? Hitung-hitungan cepat bahwa pengurang atas penghasilan hanyalah biaya jabatan sebesar 5% tetapi maksimal Rp.6jt setahun. Maka penghasilan netto karyawan ybs adalah Rp.994jt. Misalkan karyawan tersebut menikah dan memiliki tanggungan 3 orang maka akan dikurangi PTKP sebesar Rp.72jt. Dengan demikian penghasilan kena pajaknya adalah Rp. 922jt. Atas penghasilan kena pajak tersebut dikenakan tarif progresif yaitu 5% X 50jt + 15% X 200jt + 25% X 250jt + 30%  X 422jt = Rp. 221.600.000,-

Cobalah dibandingkan dengan tarif Pajak Penghasilan yang diungkap oleh tarif pajak dengan menggunakan Norma Perhitungan Penghasilan Netto sebesar 50% seperti yang diungkap Bp. Hestu Yoga Saksama. Memang seperti diungkap oleh penulis Dee Lestari bahwa belum semua KPP paham dan ngeh (mengerti) tentang aturan baru itu, bahwa di antara petugas pajak (dan juga di antara konsultan pajak) ada perbedaan penafsiran.

Bila hanya karena perbedaan tafsir lalu berhenti jadi menerbitkan buku, saya lebih-lebih lagi kawatir nanti banyak karyawan yang tidak mau bekerja karena dipotong pajak.  🙂

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *