AYDA yang kontroversial ? (Bagian 2)

Melanjutkan mengenai artikel AYDA yang kontroversial bagian 1, ada salah satu kegiatan bank yang mirip dengan pemberian kredit dan juga memiliki potensi yang menimbulkan AYDA yaitu kegiatan pembiayaan dengan skema sewa guna usaha dengan hak opsi. Pengertian Kegiatan sewa guna usaha (leasing) menurut Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE – 129/PJ/2010 adalah kegiatan pembiayaan dalam bentuk penyediaan barang modal, baik secara sewa guna usaha dengan hak opsi (financial lease) maupun sewa guna usaha tanpa hak opsi (operating lease), untuk digunakan oleh penyewa guna usaha (lessee) selama jangka waktu tertentu berdasarkan pembayaran secara angsuran. Umumnya masyarakat mengenal sewa guna usaha dengan hak opsi yang dikenal secara umum sebagai leasing.

Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE – 129/PJ/2010 itu sendiri sesuai dengan UU NO 42 Tahun 2009 tentang Pajak Pertambahan Nilai bagian penjelasan Pasal 4A  Ayat 3 Huruf d yang menyatakan bahwa kegiatan sewa guna usaha dengan hak opsi adalah termasuk kegiatan jasa keuangan yang bukan obyek PPN. Pada Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE – 129/PJ/2010 angka 6 huruf a butir 1) dinyatakan sbb :

“Dalam hal Barang Kena Pajak berupa barang modal yang menjadi objek pembiayaan berasal dari pemasok (supplier) :

a). Barang Kena Pajak tersebut dianggap diserahkan secara langsung oleh Pengusaha Kena Pajak pemasok (supplier) kepada lessee;

b). Lessor tidak perlu dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak karena dianggap hanya menyerahkan jasa pembiayaan yang merupakan jenis jasa yang tidak dikenai Pajak Pertambahan Nilai;

c). Pengusaha Kena Pajak pemasok wajib menerbitkan Faktur Pajak kepada lessee dengan menggunakan identitas lessee sebagai pembeli Barang Kena Pajak/penerima Jasa Kena Pajak (tidak menggunakan metode qualitate qua (q.q.)).

d). Dasar Pengenaan Pajak yang dicantumkan dalam Faktur Pajak sebagaimana dimaksud pada huruf c) adalah sebesar Harga Jual dari Pengusaha Kena Pajak pemasok.”

Sebenarnya Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE – 129/PJ/2010 adalah perubahan dari Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE – 10/PJ.42/1994 dimana ada bagian bilamana suatu perjanjian Sewa Guna Usaha dengan hak opsi (finance lease) kadang-kadang berakhir lebih cepat yaitu karena force majeur, default atau karena sebab ekonomis yang tidak terdapat pada Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak yang menggantikan.

Pada Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE – 10/PJ.42/1994 butir B.1. Angka 1.2 dinyatakan bahwa bilamana terjadi default (pihak lessee mengalami wanprestasi atau gagal bayar) maka Pajak Masukan yang telah dikreditkan oleh lessee harus dibayar kembali sebagian oleh lessee. Pajak Masukan yang harus dibayar kembali oleh lessee dihitung berdasarkan Pasal 4 ayat (1) Keputusan Menteri Keuangan No. 1441b/KMK.04/1989.

Tetapi dengan terbitnya Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE – 129/PJ/2010 meniadakan Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE – 10/PJ.42/1994 yang berarti bahwa tidak adanya  aturan pelaksanaan bagi suatu perjanjian Sewa Guna Usaha dengan hak opsi (finance lease) yang berakhir lebih cepat karena force majeur, default atau karena sebab ekonomis setelah terbitnya Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE – 129/PJ/2010 maka untuk suatu perjanjian Sewa Guna Usaha dengan hak opsi (finance lease) yang berakhir lebih cepat karena force majeur, default atau karena sebab ekonomis, Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE – 10/PJ.42/1994 masih berlaku.

Mengingat bahwa kegiatan pemberian kredit dan kegiatan sewa guna usaha dengan hak opsi memiliki kemiripan dari sisi situasional maupun operasional seharusnya perlakuannya bisa disamakan. Karena itu kegiatan pemberian kredit maupun kegiatan sewa guna usaha dengan hak opsi adalah termasuk kegiatan jasa keuangan yang dikecualikan dari pengenaan PPN. Tetapi bagaimana bila terjadi wanprestasi atau default pada debitur atau pada lessee ? Apakah berarti kreditur atau lessor harus membayar PPN atas AYDA yang timbul ?

Sesuai dengan Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE – 10/PJ.42/1994 yang mengatur perjanjian Sewa Guna Usaha dengan hak opsi (finance lease) yang berakhir lebih cepat karena force majeur, default atau karena sebab ekonomis dimana perjanjian Sewa Guna Usaha dengan hak opsi memiliki karakteristik yang serupa terutama dalam pembentukan AYDA maka sudah sewajarnya untuk AYDA juga berlaku ketentuan Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE – 10/PJ.42/1994.

Kembali kepada UU No 7 Tahun 1992 tentang Perbankan pada Penjelasan Pasal 6k yang sudah dihapus pada UU No 10 Tahun 1998 dijelaskan bahwa kewajiban bank dalam ketentuan ini, dimaksudkan untuk melakukan pencairan secepatnya atas agunan yang dibeli dengan lelang, agar dana hasil pencairan dari penjualan agunan tersebut dapat segera dimanfaatkan oleh bank. Dalam hal terdapat sisa dari hasil pelelangan setelah diperhitungkan dengan kewajiban nasabah kepada bank, dimanfaatkan oleh nasabah. Artinya dalam pembentukan AYDA maupun proses likuidasinya tidak timbul nilai tambah bagi Bank / lessor.

Semua ini membentuk pengertian bahwa penjualan AYDA melalui pelelangan ataupun luar pelelangan bukanlah obyek PPN karena ermasuk dalam lingkup Jasa Keuangan.