NPWP, Jerat atau Berkat ?

“Ucapan terima kasih dan penghargaan kami sampaikan atas kesadaran dan kepedulian Saudara untuk memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) yang merupakan sarana administrasi perpajakan untuk melaksanakan kewajiban perpajakan maupun mendapatkan hak-hak Saudara sebagai Wajib Pajak”. Demikian saya kutip dari sebuah Surat Himbauan dari sebuah Kantor Pelayanan Pajak kepada seorang Wajib Pajak. Kutipan ini adalah ungkapan yang terasa klise dan saya yakin adalah kutipan yang sangat sering di-copas (copy paste) oleh petugas pajak dalam memberikan Surat Himbauan. Walaupun klise, kutipan tersebut menggambarkan hal yang memang umum dan seharusnya terjadi yaitu bahwa hak dan kewajiban selalu berjalan seiring.

Dan bila kita baca di siaran pers Dirjen Pajak mengenai Sesnsus Pajak Nasional (SPN) kita mendapati pernyataan “Melalui SPN Kedua ini, ditargetkan akan terkumpul paling sedikit dua juta Formulir Isian Sensus (FIS) calon WP terdaftar baru.” Memang dalam meningkatkan pendapatan Negara dari Pajak, Dirjen Pajak menjalan 2 program yaitu intensifikasi pajak yaitu meningkatkan penerimaan pajak dari Wajib Pajak yang sudah ada dan ekstensifikasi pajak yaitu menjaring Wajib Pajak baru.

NPWP itu sendiri digunakan sebagai

  1. sarana identitas Wajib Pajak,
  2. sarana administrasi dalam pemenuhan kewajiban dan hak masyarakat Wajib Pajak,
  3. sarana menjaga ketertiban membayar pajak.

Semua tujuan di atas menitikberatkan pada pemenuhan kewajiban perpajakan bagi seorang Wajib Pajak. Sedangkan dalam Peraturan Dirjen Pajak no PER-44/PJ/2008 yang diubah terakhir kali dengan PER-62/PJ./2010 dijelaskan bahwa “Nomor Pokok Wajib Pajak yang selanjutnya disebut dengan NPWP adalah nomor yang diberikan kepada Wajib Pajak sebagai sarana dalam administrasi perpajakan yang dipergunakan sebagai tanda pengenal diri atau identitas Wajib Pajak dalam melaksanakan hak dan kewajiban perpajakannya, yang terdiri dari 15 (lima belas) digit, yaitu 9 (sembilan) digit pertama merupakan Kode Wajib Pajak dan 6 (enam) digit berikutnya merupakan Kode Administrasi Perpajakan.”

Menurut  PER-44/PJ/2008 Pasal 2 dan 3 :

2.  Wajib Pajak orang pribadi yang menjalankan usaha atau melakukan pekerjaan bebas termasuk Wajib Pajak orang pribadi pengusaha tertentu dan Wajib Pajak badan, wajib mendaftarkan diri untuk memperoleh NPWP paling lama 1 (satu) bulan setelah saat usaha mulai dijalankan.

3.  Wajib Pajak orang pribadi yang tidak menjalankan usaha atau tidak melakukan pekerjaan bebas, apabila jumlah penghasilannya sampai dengan suatu bulan yang disetahunkan telah melebihi Penghasilan Tidak Kena Pajak, wajib mendaftarkan diri untuk memperoleh NPWP paling lama pada akhir bulan berikutnya.

Bagaimana dengan fungsi NPWP di negara lain? Ternyata di negara lain, NPWP tidak diperlukan. Seorang yang memiliki kewajiban pajak tidak perlu memiliki NPWP. Ini dikarenakan adanya sistem kependudukan terintegrasi. Disinilah terlihat perlunya Single Identification Number (SIN) yang serupa dengan social security number. Dan tampaknya sebentar lagi hal ini akan terwujud dengan berjalannya program e-KTP yang walaupun masih menemui banyak kendala, progressnya masih berjalan terus.

Dengan terwujudnya e-KTP yang terintegrasi dengan NPWP maka akan sangat memudahkan pemerintah untuk menguji kepatuhan Wajib Pajak sehingga akan sangat sukar bagi Wajib Pajak untuk menyembunyikan kekayaannya. Dengan memasukkan nomor identitas tunggal kependudukan, Dirjen Pajak dapat dengan mudah mengetahui kekayaan Wajib Pajak seperti rumah dan kendaraan bahkan mungkin hingga frekuensi kunjungan keluar negeri sehingga sukar bagi Wajib Pajak untuk menghindari pajak.

Nah… bagaimana pendapat anda ? NPWP, jeratkah atau berkat ?

12 thoughts on “NPWP, Jerat atau Berkat ?”

  1. Kenapa tidak pernah dibahas soal pajak yang di korupsi oknum?? harusnya negara sungguh2 memberantas korupsi seperti sungguh2nya narik pajak !…setiap pembahasan penarikan pajak di bahas dong kemana larinya pajak dan upaya anti korup…

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *