Perekaman Surat Pemberitahuan Pajak

Sebagian besar Wajib Pajak tidak mengerti dan bahkan tidak mau mengerti proses yang terjadi sesudah Wajib Pajak yang bersangkutan menyelesaikan kewajiban perpajakannya yang berupa melaporkan Surat Pemberitahuan Pajak. Padahal dengan mengerti proses yang terjadi di baliknya, maka berbagai kebijakan Direktur Jenderal Pajak mengenai bentuk formulir SPT, tata cara pelaporan, mekanisme pelaporan, kewajiban penggunakan e-SPT, sosialisasi e-Filing, sosialisasi Billing System dsb bisa dimengerti dan dipahami.

Hingga saat ini di berbagai forum, kewajiban pelaporan SPT PPN 1111 melalui e-SPT per masa Juni 2013 dan kewajiban pelaporan SPT PPh Pasal 21 melalui e-SPT PPh Pasal 21 per masa Januari 2014 menjadi pro dan kontra. Sepintas memang tampak kebijakan Direktur Jenderal Pajak kurang dan bahkan tidak mempertimbangkan Wajib Pajak yang tidak “melek” teknologi yang mengakibatkan kesulitan bagi Wajib Pajak untuk memenuhi kewajiban perpajakannya.

Tetapi dari pihak Direktorat Jenderal Pajak, ada aspek yang tidak pernah dipublikasikan karena mungkin memalukan atau bisa dimanfaatkan oleh Wajib Pajak yang ‘nakal’. Aspek tersebut adalah aspek perekaman surat pemberitahuan pajak. Sejak awal diberlakukannya sistem self assessment di tahun 1984, perekaman surat pemberitahuan pajak adalah masalah yang mudah tetapi sulit terpecahkan hingga sekarang. Masalah ini semakin membesar sejak reformasi perpajakan pada tahun 2004 dimana pertumbahan Wajib Pajak melonjak terutama sekitar saat kebijakan Sunset Policy digulirkan.

Sejumlah langkah sudah dilakukan Direktorat Jenderal Pajak dengan menggunakan aplikasi perekaman yang memanfaatkan OCR (Optical character recognition) yang bisa dilihat pada form pajak sesudah tahun 2007 diberi tanda batas perekaman berupa kotak hitam di sudut-sudut halaman, upaya pengaplikasian e-SPT PPN secara bertahap dan sosialisasi e-Filing.

Oleh PER-31/PJ./2011 Tentang Percepatan Pelaksanaan Perekaman Surat Pemberitahuan (SPT), Perekaman SPT didefinisikan sebagai serangkaian kegiatan yang dilakukan untuk memasukkan semua unsur SPT ke dalam basis data perpajakan melalui aplikasi perekaman. Sejak tahun 2011, Direktorat Jenderal Pajak sangat memperhatikan masalah banyaknya SPT yang belum direkam dengan ketentuan perekaman SPT dimulai dengan terbitnya PER-31/PJ./2011 Tentang Percepatan Pelaksanaan Perekaman Surat Pemberitahuan (SPT) dan disusul dengan SE – 80/PJ/2011 Tentang Pengantar Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-31/PJ/2011
Tentang Percepatan Pelaksanaan Perekaman Surat Pemberitahuan (SPT). Dan untuk tahun 2013 ini, diterbitkan SE – 27/PJ/2013 Tentang Percepatan Pelaksanaan Perekaman Surat Pemberitahuan (SPT) pada tanggal 11 Juni 2013.

Salah satu solusi yang dijalakankan oleh Direktorat Jenderal Pajak adalah dengan melaksanakan pengadaan jasa Pihak Ketiga untuk perekaman SPT melalui jasa Pihak Ketiga. Untuk itu KPP, Pihak Ketiga, dan Tenaga Kerja Pihak Ketiga wajib menandatangani Pakta Kewajiban Menjaga Rahasia/Non Disclosure Agreement (NDA). Pakta Kewajiban Menjaga Rahasia/Non Disclosure Agreement (NDA) adalah janji Pihak Ketiga dan/atau Tenaga Kerja Pihak Ketiga untuk tidak menyingkap kerahasiaan informasi tertentu kepada pihak-pihak yang tidak berhak.

Walaupun demikian, saya sependapat dengan Direktur Jenderal Pajak bahwa solusi terbaik untuk masalah Perekaman Surat Pemberitahuan Pajak ini adalah dengan pemanfaatan aplikasi e-SPT dan akan lebih baik lagi bila sudah menggunakan sepenuhnya aplikasi e-Filing untuk penyampaian Surat Pemberitahuan Pajak (SPT).

Jadi ayo kita gunakan e-Filing !

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *