Transaksi Dengan Bendaharawan, Siapa Takut ?

Banyak entitas bisinis tidak mau ataupun segan melakukan hubungan bisnis dengan Bendaharawan Pemerintah dan/atau BUMN. Banyak alasan yang muncul seperti pembayaran yang lama, mekanisme tender/order/pembayaran yang rumit dan masih banyak alasan lain termasuk mengenai korupsi dan kolusi misalnya :). Tetapi dari sisi perpajakan ada satu permasalahan besar yang membuat banyak pihak segan untuk berhubungan usaha dengan Bendaharawan Pemerintah dan/atau BUMN.

Masalahnya adanya penetapan Bendaharawan Pemerintah dan/atau BUMN sebagai Pemungut PPN sesuai Keputusan Menteri Keuangan No. 563/KMK.03/2003 bagi Bendaharawan dan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 136/PMK.03/2012 bagi BUMN. Dengan penetapan ini, semua PKP yang berhubungan dengan Bendaharawan Pemerintah dan/atau BUMN tidak akan menerima pembayaran atas PPN yang dipungut karena PPN tersebut akan dibayar oleh Bendaharawan Pemerintah dan/atau BUMN itu sendiri dan PKP Rekanan hanya akan menerima SSP atas pembayaran PPN yang dilakukan oleh Bendaharawan Pemerintah dan/atau BUMN tersebut (lihat artikel Penetapan BUMN sebagai Pemungut PPN)

Masalah itu timbul manakala mekanisme di atas tidak berjalan misalnya :

  • SSP yang dibuat Bendaharawan Pemerintah dan/atau BUMN salah ;
  • SSP tidak dibayar oleh Bendaharawan Pemerintah dan/atau BUMN ;
  • SSP tidak disampaikan oleh Bendaharawan Pemerintah dan/atau BUMN kepada PKP Rekanan

Hal ini bisa disebabkan oleh semata-mata ketidaktahuan Bendaharawan Pemerintah dan/atau BUMN atau juga karena kesengajaan. Dan selama ini tampaknya Dirjen Pajak bersikap sangat toleran terlebih pada para Bendaharawan Pemerintah. Sehingga akibat adanya ketentuan UU No 42 Tahun 2009 Pasal 16F tentang Tanggung Jawab Renteng, mengakibatkan PKP Rekananlah yang dikenai sanksi karena dianggap tidak melakukan penyetoran PPN yang sudah dipungut.

Tetapi keadaan sudah mulai berubah dan Dirjen Pajak semakin maju dan bersikap lebih adil dan bijak dengan ditetapkannya Peraturan Menteri Keuangan Nomor 64/PMK.05/2013 Tentang Mekanisme Pengawasan Terhadap Pemotongan/Pemungutan Dan Penyetoran Pajak Yang Dilakukan Oleh Bendahara Pengeluaran Satuan Kerja Perangkat Daerah/Kuasa Bendahara Umum Daerah.

Dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 64/PMK.05/2013 ini ditetapkan tata cara pertanggungjawaban dan mekanisme pengawasan atas Bendahara Pengeluaran Satuan Kerja Perangkat Daerah/Kuasa Bendahara Umum Daerah dan pelaporan dan pengawasan Bendahara Pengeluaran Satuan Kerja Perangkat Daerah/Kuasa Bendahara Umum Daerah ini diserahkan pada Kepala KPP sesuai dengan pembagian KPP yang diatur oleh Direktur Jenderal Pajak. Dan Kepala KPP melakukan konfirmasi dan menyampaikan laporan hasil konfirmasi kepada Bendahara Pengeluaran Satuan Kerja Perangkat Daerah/Kuasa Bendahara Umum Daerah dengan tembusan kepada Kepala Daerah dan Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak bila ada ketidaksesuaian pemotongan/pemungutan dan/atau penyetoran Pajak.

Bahkan pada Pasal 17 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 64/PMK.05/2013 ini dinyatakan secara tegas bahwa bila penyetoran kewajiban Pajak terutang beserta sanksinya ke Kas Negara tidak dilakukan dalam jangka waktu sesuai dengan ketentuan dalam Undang-Undang tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, Bendahara Pengeluaran SKPD/Kuasa BUD diberikan sanksi administrasi dan/atau sanksi pidana sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Walaupun Peraturan Menteri Keuangan Nomor 64/PMK.05/2013 hanya menitikberatkan pada Bendahara Pengeluaran Satuan Kerja Perangkat Daerah/Kuasa Bendahara Umum Daerah, hal ini merupakan langkah maju yang berarti. Semoga juga dilanjutkan pada Bendaharawan Pemerintah yang lainnya.

Jadi bertransaksi dengan Bendaharawan Pemerintah dan/atau BUMN ? Siapa Takut ? Karena bila Bendaharawan Pemerintah dan/atau BUMN tidak melakukan kewajibannya, laporkan saja ke KPP terdekat. 🙂

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *