Mungkin kita sering mendengar pernyataan pejabat pemangku jabatan di negeri ini terutama yang berwenang di Kementerian Keuangan khususnya Direktorat Jenderal Pajak, bahwa Indonesia menganut sistem self assesment. Sebenarnya pernyataan seperti hanyalah benar sebagian dan tidak sepenuhnya tepat.
Pada dasarnya di dunia ini ada 3 jenis sistem pemungutan Pajak yaitu :
- Self Assessment
- Official Assessment
- Withholding Tax
Pernyataan bahwa Indonesia menganut sistem self assessment itu berdasarkan UU No 28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan khususnya Pasal 12 ayat 1 dan 2 :
- “Setiap Wajib Pajak wajib membayar pajak yang terutang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan, dengan tidak menggantungkan pada adanya surat ketetapan pajak. “
- “Jumlah Pajak yang terutang menurut Surat Pemberitahuan yang disampaikan oleh Wajib Pajak adalah jumlah pajak yang terutang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan. “
Dengan ketentuan ini, Wajib Pajak berkewajiban menghitung, membayar dan melaporkan dengan Surat Pemberitahuan yang merupakan prinsip dasar dari self assessment.
Tetapi pada pasal yang sama (Pasal 12 UU No 28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan) ayat 3 menegaskan bahwa prinsip Official Assessment belum sepenuhnya ditinggalkan oleh aturan perpajakan di Indonesia. Pasal 12 ayat 3 berbunyi sbb :
“Apabila Direktur Jenderal Pajak mendapatkan bukti jumlah pajak yang terutang menurut Surat Pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak benar, Direktur Jenderal Pajak menetapkan jumlah pajak yang terutang.”
Jadi sesuai ketentuan ini, bila Direktur Jenderal Pajak mendapati ketidak benaran pada Surat Pemberitahuan Pajak, maka Direktur Jenderal Pajak akan melakukan penetapan jumlah pajak yang terutang dengan prinsip official assessment. Ketentuan ini pastilah dibuat untuk tujuan check dan balance pada prinsip self assessment yang diterapkan.
Lalu bagaimana dengan Withholding Tax ? Withholding Tax adalah sistem yang mengharuskan seorang Wajib Pajak memotong pajaknya pihak ketiga yang biasanya adalah pihak yang dibayarkan kewajibannya oleh si pemotong pajak. Konsep withholding tax sangatlah berbeda dengan self assessment. Dengan sistem withholding tax berarti Wajib Pajak berkewajiban untuk menghitung, memungut/memotong, membayar, mengadministrasikan dan melaporkan pajak pihak lain.
Sebenarnya Pajak yang tergolong withholding tax ini terdiri dari PPh Pasal 4(2) (Final), PPh Pasal 15, PPh Pasal 21, PPh Pasal 22, PPh Pasal 23 dan PPh Pasal 26. Tetapi pada ketentuan PPh Pasal 4(2) dalam UU No 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan tidak disebutkan secara tegas ketentuan PPh Pasal 4(2) sebagai withholding tax. Kita lihat pasal demi pasal :
PPh Pasal 4(2)
“Penghasilan di bawah ini dapat dikenai pajak bersifat final:
- penghasilan berupa bunga deposito dan tabungan lainnya, bunga obligasi dan surat utang negara, dan bunga simpanan yang dibayarkan oleh koperasi kepada anggota koperasi orang pribadi;
- penghasilan berupa hadiah undian;
- penghasilan dari transaksi saham dan sekuritas lainnya, transaksi derivatif yang diperdagangkan di bursa, dan transaksi penjualan saham atau pengalihan penyertaan modal pada perusahaan pasangannya yang diterima oleh perusahaan modal ventura;
- penghasilan dari transaksi pengalihan harta berupa tanah dan/atau bangunan, usaha jasa konstruksi, usaha real estate, dan persewaan tanah dan/atau bangunan; dan
- penghasilan tertentu lainnya,
yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah.”
PPh Pasal 21
“(1) Pemotongan pajak atas penghasilan sehubungan dengan pekerjaan, jasa, atau kegiatan dengan nama dan dalam bentuk apa pun yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri wajib dilakukan oleh:
- pemberi kerja yang membayar gaji, upah, honorarium, tunjangan, dan pembayaran lain sebagai imbalan sehubungan dengan pekerjaan yang dilakukan oleh pegawai atau bukan pegawai; ….” dst
PPh Pasal 22
“(1) Menteri Keuangan dapat menetapkan:
- bendahara pemerintah untuk memungut pajak sehubungan dengan pembayaran atas penyerahan barang;
- badan-badan tertentu untuk memungut pajak dari Wajib Pajak yang melakukan kegiatan di bidang impor atau kegiatan usaha di bidang lain; dan
- Wajib Pajak badan tertentu untuk memungut pajak dari pembeli atas penjualan barang yang tergolong sangat mewah. …” dst
PPh Pasal 23
“(1) Atas penghasilan tersebut di bawah ini dengan nama dan dalam bentuk apa pun yang dibayarkan, disediakan untuk dibayarkan, atau telah jatuh tempo pembayarannya oleh badan pemerintah, subjek pajak badan dalam negeri, penyelenggara kegiatan, bentuk usaha tetap, atau perwakilan perusahaan luar negeri lainnya kepada Wajib Pajak dalam negeri atau bentuk usaha tetap, dipotong pajak oleh pihak yang wajib membayarkan: … ” dst
PPh Pasal 26
“(1) Atas penghasilan tersebut di bawah ini, dengan nama dan dalam bentuk apa pun, yang dibayarkan, disediakan untuk dibayarkan, atau telah jatuh tempo pembayarannya oleh badan pemerintah, subjek pajak dalam negeri, penyelenggara kegiatan, bentuk usaha tetap, atau perwakilan perusahaan luar negeri lainnya kepada Wajib Pajak luar negeri selain bentuk usaha tetap di Indonesia dipotong pajak sebesar 20% (dua puluh persen) dari jumlah bruto oleh pihak yang wajib membayarkan: …” dst
Nah… setelah melihat ilustrasi di atas, setujukan rekan-rekan bahwa Indonesia menerapkan sistem Self Assessment ?
kalau saya boleh memberikan pendapat, yang kamu bilang kalo official asessment itu masih ada mungkin kurang tepat. Self asessment memang sudah berlaku, dan mengenai peran DJP dalam memeriksa kembali apabila ada pajak yang kurang bayar atau lebih, itu merupakan semi self asessment.
semi self asessment : awal tahun wp lah yang menentukan jumlah pajaknya, sementara di akhir tahun jumlahnya ditentukan kembali oleh fiskus agar tidak ada kekeliruan atau salah hitung…
Terima kasih atas opininya rekan… 🙂