Membayar pajak berdasarkan kerelaaan hati ? Siapa yang tidak ingin bisa seperti ini ? Kita tentunya ingin membayar pajak berdasarkan kerelaan hati karena masalah prinsip kejujuran karena saya yakin kita tentunya lebih menyukai kejujuran maupun prinsip ekonomi karena kerelaaan hati membayar pajak berarti secara ekonomi membayar pajak memang layak. Tetapi bisakah demikian ? Ataukah ini hanya sebuah utopia. Sebelum kita melanjutkannya mari kita lihat apa pendapat para guru-guru mengenai pajak.
Menurut Prof. Dr. P. J. A. Adriani, pajak adalah iuran masyarakat kepada negara (yang dapat dipaksakan) yang terutang oleh yang wajib membayarnya menurut peraturan-peraturan umum (undang-undang) dengan tidak mendapat prestasi kembali yang langsung dapat ditunjuk dan yang gunanya adalah untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran umum berhubung tugas negara untuk menyelenggarakan pemerintahan.
Sedangkan menurut Prof. Dr. H. Rochmat Soemitro SH, pajak adalah iuran rakyat kepada Kas Negara berdasarkan undang-undang (yang dapat dipaksakan) dengan tiada mendapat jasa timbal (kontra prestasi) yang langsung dapat ditunjukkan dan yang digunakan untuk membayar pengeluaran umum. Definisi tersebut kemudian dikoreksinya sehingga Pajak berarti peralihan kekayaan dari pihak rakyat kepada Kas Negara untuk membiayai pengeluaran rutin dan surplusnya digunakan untuk public saving yang merupakan sumber utama untuk membiayai public investment.
Wah tampaknya menurut para guru-guru, pajak bersifat memaksa… yang dengan kata lain tidak mungkin secara sukarela. sedangkan menurut Pasal 1 angka 1 UU No 6 Tahun 1983 sebagaimana telah disempurnakan terakhir dengan UU No.28 Tahun 2007 tentang Ketentuan umum dan tata cara perpajakan, “pajak adalah kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang Undang, dengan tidak mendapat timbal balik secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat“. Bahkan Undang-undang pun menunjukkan bahwa pajak adalah wajib dan bersifat memaksa.
Sebenarnya cara pemungutan pajak di Indonesia yang menggunakan sistem self assessment menunjukkan bahwa sekalipun wajib, Negara memberikan hak untuk menghitung, membayar dan melaporkan pajak menurut kesadaran sendiri. Selain itu pada definisi di atas ada tambahan pengertian bahwa pajak digunakan untuk keperluan negara dan bagi kemakmuran rakyat. Hal ini sesuai dengan W.J. Langen yang mengutarakan bahwa asas pemungutan pajak adalah sebagai berikut :
-
- Asas daya pikul: besar kecilnya pajak yang dipungut harus berdasarkan besar kecilnya penghasilan wajib pajak. Semakin tinggi penghasilan maka semakin tinggi pajak yang dibebankan.
-
- Asas manfaat: pajak yang dipungut oleh negara harus digunakan untuk kegiatan-kegiatan yang bermanfaat untuk kepentingan umum.
-
- Asas kesejahteraan: pajak yang dipungut oleh negara digunakan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat.
-
- Asas kesamaan: dalam kondisi yang sama antara wajib pajak yang satu dengan yang lain harus dikenakan pajak dalam jumlah yang sama (diperlakukan sama).
-
- Asas beban yang sekecil-kecilnya: pemungutan pajak diusahakan sekecil-kecilnya (serendah-rendahnya) jika dibandingkan dengan nilai obyek pajak sehingga tidak memberatkan para wajib pajak.
Pertanyaan yang menyusul kemudian apakah bila asas manfaat dan asas kesejahteraan benar-benar diterapkan dan bisa dirasakan oleh kita semua sebagai wajib pajak, masihkah pajak dirasakan sebagai kewajiban memaksa dan memberatkan ?