“Jika ingin bersihkan korupsi mestinya bukan pegawai pajak saja yang diungkap, namun para penyuap (yang menyogok para pegawai pajak) itu juga harus diungkap dan dihukum. Kalau para penyuap ini tidak diadili, masalah korupsi tidak akan selesai,” ujar Dirjen Pajak, Fuad Rahmany, saat menjadi panelis pada seminar nasional Dinamika Perpajakan Nasional ‘Antara Idealisme dan Realita’ di Graha Sabha Pramana UGM, di Yogyakarta, hari Kamis, 19 April 2012.
Saat ini jumlah pegawai Direktorat Jenderal Pajak (DJP) tercatat 31.841 orang pegawai yang mayoritas masih muda di usia 30 tahun. Menurut Fuad, ada banyak dari para stafnya itu yang memiliki idealisme yang baik, mengedepankan kejujuran, dan berupaya keras untuk menjaga penerimaan pajak. Namun, idealisme tersebut berusaha dirusak oleh para penyuap tersebut melalui berbagai iming-iming. “Saya jamin, kasus Gayus dan kasus lainnya hanya bagian kecil saja. Masih banyak pegawai yang memiliki idealisme,” ungkap Fuad.
Fuad mengutarakan bahwa kalau pun ada korupsi dan kasus mafia pajak, maka si oknum pegawai pajak tidak pernah mengambil langsung uang pajak, karena pembayaran pajak melalui bank. Namun, yang terjadi adalah para oknum pegawai pajak itu bertindak sebagai makelar, broker, atau konsultan yang membantu si pengemplang pajak mengemplang pajak. Atas jasa makelar, broker, atau konsultan liar, si oknum pegawai pajak menerima fee dari para pengemplang. “Jadi jangan ada lagi wajib pajak (WP) Badan atau WP orang pribadi membayar pajak melalui pegawai pajak, tetapi lewat bank. Jika melalui pegawai itu salah, si penyuap dan yang disuap dua-duanya bisa jadi tersangka dan harus dihukum,” tandas Fuad.
Fuad juga mengungkapkan bahwa saat ini sedikitnya ada 12 juta perusahaan dan 30 juta orang pribadi yang mengemplang pajak. Akibatnya, negara dirugikan triliunan rupiah. Menurut Fuad, 12 juta perusahaan dan 30 juta orang pribadi pengemplang pajak itu tidak lebih baik dari Gayus. Mereka dapat disebut Gayus juga karena mereka telah merampok uang negara dengan tidak bayar pajak, yang semestinya pajak itu merupakan hak negara. Pajak sebagai hak negara diatur dalam Pasal 23 A UUD 1945, yang menetapkan bahwa pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur dalam undang-undang.
Guru Besar Fakultas Ekonomi UGM, Prof. Mudrajad Kuncoro, yang juga menjadi salahsatu panelis pada seminar nasional Dinamika Perpajakan Nasional ‘Antara Idealisme dan Realita’ di UGM itu, disamping Prof. Purwo Santoso, Dirjen Pajak Fuad Rahmany dan Prof. Eddy OS Hiariej, mengungkapkan bahwa “…dari sudut pandang ekonomi politik, mafia pajak susah dibongkar. Berbagai pihak –wajib pajak nakal, politisi, dan oknum petugas pajak- berupaya mencampuri proses pemberantasan mafia pajak guna memperjuangkan kepentingan masing-masing.”
Menanggapi pendapat Mudrajad Kuncoro itu maka media massa juga perlu berhati-hati agar jangan menjadi kaki tangan para pengemplang pajak, yaitu seperti tidak mengungkap para pengusaha pengemplang pajak yang menyuap oknum pegawai pajak agar ketetapan hutang pajaknya dikecilkan. Dan bisa saja sebagian dari para pengemplang pajak itu menjadi pemilik saham dari perusahaan-perusahaan media massa itu. Para pengemplang pajak (yang menyogok/menyuap para oknum pegawai pajak) itu juga harus diungkap oleh media massa dan dihukum. “Jika ingin memberantas mafia pajak, pemberi dan penerima suap harus diproses semua,” tegas Fuad Rahmany.