Sumbangan Keagamaan dari sisi perpajakan

Agama di Indonesia memiliki kedudukan yang istimewa. Menurut Penetapan Presiden (Penpres) No.1/PNPS/1965 juncto Undang-undang No.5/1969 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan Penodaan agama dalam penjelasannya pasal demi pasal dijelaskan bahwa Agama-agama yang dianut oleh sebagian besar penduduk Indonesia adalah: Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Buddha, dan Konghucu. Meskipun demikian bukan berarti agama-agama dan kepercayaan lain tidak boleh tumbuh dan berkembang di Indonesia. Bahkan pemerintah berkewajiban mendorong dan membantu perkembangan agama-agama tersebut.

Karena itu sumbangan keagamaan memiliki aturan khusus (lex specialis) yang membedakannya dari obyek pajak yang lain. Dimana perbedaannya?

Pada umumnya, negara Indonesia menganut prinsip Taxable Deductible. Prinsip Taxable Deductible menyatakan bahwa bila suatu obyek dapat/merupakan obyek pajak atau dapat dikenakan pajak (taxable) maka obyek tersebut dapat pula dijadikan biaya atau pengurang(deductible) untuk menghitung penghasilan yang dikenakan pajak. Hampir semua obyek pajak di Indonesia memenyhi prinsip Taxable Deductible ini kecuali Sumbangan Keagamaan.

Pada prinsipnya, sesuai UU No 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan pada Pasal 4 ayat (3) menyatakan :

“Yang dikecualikan dari objek pajak adalah:

  1. bantuan atau sumbangan, termasuk zakat yang diterima oleh badan amil zakat atau lembaga amil zakat yang dibentuk atau disahkan oleh pemerintah dan yang diterima oleh penerima zakat yang berhak atau sumbangan keagamaan yang sifatnya wajib bagi pemeluk agama yang diakui di Indonesia, yang diterima oleh lembaga keagamaan yang dibentuk atau disahkan oleh pemerintah dan yang diterima oleh penerima sumbangan yang berhak, yang ketentuannya diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah; dan… “

Pasal ini menyatakan bahwa sumbangan keagamaan bukanlah obyek pajak. Yang artiya menurut prinsip Taxable Deductible seharusnya sumbangan keagamaan tidak boleh menjadi pengurang/biaya dalam menghitung Penghasilan Kena Pajak. Tetapi sebaliknya UU No 36 Tahun 2008 Pasal 9 Ayat (1) huruf g berunyi :

“Untuk menentukan besarnya Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak dalam negeri dan bentuk usaha tetap tidak boleh dikurangkan:

g. harta yang dihibahkan, bantuan atau sumbangan, dan warisan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) huruf a dan huruf b, kecuali sumbangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf i sampai dengan huruf m serta zakat yang diterima oleh badan amil zakat atau lembaga amil zakat yang dibentuk atau disahkan oleh pemerintah atau sumbangan keagamaan yang sifatnya wajib bagi pemeluk agama yang diakui di Indonesia, yang diterima oleh lembaga keagamaan yang dibentuk atau disahkan oleh pemerintah, yang ketentuannya diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah;

Kata kecuali pada kutipan di atas menunjukkan bahwa sumbangan keagamaan boleh menjadi pengurang/biaya (deductible).

Konsisten dengan sifat lex specialis pada sumbangan keagamaan, Direktorat Jenderal Pajak sudah menerbitkan PER No 15/PJ./2012 tentang Badan/Lembaga Yang Dibentuk atau Disahkan oleh Pemerintah Yang Ditetapkan Sebagai Penerima Zakat Atau Sumbangan Keagamaan yang Sifatnya Wajib Yang Dapat Dikurangkan dari Penghasilan Bruto yang menambahkan Badan Dharma Dana Nasional Yayasan Adikara Dharma Parisad (BDDN YADP) kedalam daftar Badan/Lembaga Yang Dibentuk atau Disahkan oleh Pemerintah Yang Ditetapkan Sebagai Penerima Zakat Atau Sumbangan Keagamaan pada PER No. 33/PJ./2011.

Sayangnya PER No 15/PJ./2012 masih belum mengakomodasi untuk penganut agama Katholik dan Budha sebagai salah satu agama yang diakui oleh Pemerintah Republik Indonesia.