Penerapan PPh Obligasi 15% Ditunda, Pangsa Reksa Dana Dianggap Belum Cukup Besar

Harian Bisnis Indonesia, 1 Juni 2012. JAKARTA -Pemerintah berniat menunda penerapan pajak penghasilan(PPh) obligasi dalam reksa dana yang akan berlaku penuh sebesar 15% pada 2014.Menteri Keuangan Agus D.W. Martowardojo mengatakan rencana tersebut sedang dipelajari bersama beberapa instansi terkait.”Untuk yang tadinya akan berlaku penuh pada 2014, sedang dipelajari untuk kita tunda,” ujarnya usai rapat kerja dengan DPR Kamis (31/5).Penerapan pajak pada obligasi yang menjadi portofolio reksa dana sebelumnya mulai berlaku sejak 2011.

Dasar penetapan pajak itu adalah ketentuan yang terbit pada Februari 2009 berupa Peraturan Pemerintah (PP) No. 16/2009 tentang Pajak Penghasilan Atas Penghasilan Berupa Bunga Obligasi.

Peraturan itu menetapkan wajib pajak reksa dana mulai dibebankan pajak final yang berlaku atas kupon dan atau diskonto obligasi pada 2011.

Penetapannya pun bertahap. Pajak yang dibebankan adalah sebesar 5% mulai 2011 hingga tahun depan dan rencananya akan menjadi sebesar 15% pada 2014.

Agus mengatakan salah satu pertimbangan pemerintah untuk menunda kebijakan tersebut adalah pangsa pasar reksa dana yang masih belum cukup besar, dalam, dan likuid.

Diundurnya penerapan pajak bunga obligasi reksa dana tersebut, tuturnya, diharapkan dapat membuat publik lebih tertarik untuk mempelajari dan berinvestasi pada instrumen itu.

Saat ini, Bapepam-LK mencatat efek utang yang menjadi portofolio investasi reksa dana mencapai Rp 72,43 triliun per akhir April, dari total dana kelolaan Rp 170,19 triliun.

Efek utang itu temasuk surat utang negara (SUN) Rp 42,92 triliun, surat utang korporasi Rp 25,81 triliun, surat utang jangka menengah (medium term notes/MTN) Rp 263,82 miliar, surat berharga syariah negara (SBSN) Rp 2,67 triliun, serta sukuk korporasi Rp 752,98 miliar.

Meskipun demikian, Agus belum dapat merinci target penerbitan perubahan peraturan tersebut atau kemungkinan membatalkan sama sekali penerapan pajak obligasi reksa dana sebesar 15%.

Direktur Jenderal Pajak Ahmad Fuad Rahmany memprediksi perubahan yang akan diterapkan untuk menunda pajak untuk reksa dana tersebut adalah revisi PP yang sudah terbit. “Saya belum tahu kapan, tergantung Pak Menteri yang akan mengajukan”.

Kepala Biro Pengelolaan Investasi Bapepam-LK Fakhri Hilmi tidak membalas layanan pesan singkat yang dikirimkan kemarin untuk mengonfirmasi kabar tersebut.

Namun sebelumnya kepada media, dia pernah mengatakan tarif pajak 15% pada 2014 tersebut berpeluang turun.

Wakil Ketua asosiasi pengelola reksa dana Indonesia (APRDI) Denny Rizal Thaher dalam menanggapi kabar itu mengatakan rencana tersebut merupakan berita bagus untuk industri reksa dana, khususnya bagi reksa dana yang memanfaatkan obligasi.

“Angin segar untuk industri. Dapat membantu shifting (peralihan) masyarakat dari sebelumnya saving society menjadi investing society.”

Menurutnya, investor awam masih lebih sulit berinvestasi ke reksa dana berbasis saham yang lebih rumit dibandingkan dengan yang berbasis obligasi dan efek utang.

Selain itu, lanjutnya, penundaan kebijakan pajak 15% tersebut juga berpotensi membuat reksa dana dapat memiliki porsi lebih besar dalam berinvestasi pada obligasi.

Dia menuturkan efek utang jenis itu juga merupakan sumber pendanaan berjangka waktu panjang (long term funding), baik bagi pemerintah maupun korporasi swasta.

Sebelumnya, APRDI berharap pemerintah dapat memberikan perpanjangan waktu terhadap ketentuan bunga obligasi 15% yang mulai diterapkan pada 2014 guna melonggarkan perpajakan bagi industri reksa dana.

“Kami sih berharap gampangnya itu (2014) diperpanjang lagi, tetapi kita lihat nanti kajiannya bagaimana dari Bapepam-LK dan Direktorat Jenderal Pajak,” kata Ketua APRDI Abiprayadi Riyanto beberapa waktu lalu.

Tak heran, APRDI sangat menyambut baik rencana otoritas pasar modal yang mengkaji kemungkinan kelonggaran perpajakan terkait dengan bunga obligasi sebesar 15%.

“Kami sih maunya win-win solution, tetapi ini masih dikaji, penekanannya adalah win-win,” kata Dirut PT Mandiri Manajemen Investasi ini.

Adapun Kepala Biro Pengelolaan Investasi Bapepam-LK Fakhri Hilmi pernah mengatakan pihaknya selalu berkoordinasi dengan Ditjen Pajak dan Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan.

“Peluang (kelonggaran) tentu ada, kami akan kaji itu apakah nanti bisa bertahap lagi dan tidak langsung 15% pada 2014 atau bagaimana,” ujarnya kala itu.

Sebelumnya, Bapepam-LK berniat mengeluarkan obligasi dari portofolio investasi di dalam reksa dana pasar uang (RDPU).

Kepala Biro Pengelolaan Investasi Bapepam-LK Fakhri Hilmi mengatakan ada dua hal utama yang menyebabkan dikeluarkannya obligasi dari RDPU, yaitu penerapan perubahan hitungan akuntansi dan perkembangan pasar modal.

“(Keputusan) itu juga karena PSAK yang sudah berlaku (PSAK 50 & 55) tidak memungkinkan adanya penghitungan valuasi obligasi dalam beberapa konsep di dalam RDPU,” ujarnya.